SUFI HARAKI
this site the web

visi

image
image
image
image

Penentang yang menjadi Pendokong


IMAM AL-GHAZALI R.A. (450H - 505H)

"Hal aku pada mulanya menentang dan menolak hal solihin dan kedudukan al-'Arifin hingga aku bersahabat dengan syeikh aku ( Yusuf An-Nassaj) maka selalulah beliau menggilap jiwaku dengan mujahadah hingga dapatlah aku beberapa wirid. Maka aku pun bermimpi melihat Allah di dalam tidurku (panjanglah juga cerita mimpinya melihat Allah itu yang memberikannya keyakinan dan kesungguhan hati).

"Maka bangunlah aku daripada tidurku dengan sukacitanya mengadap syeikhku( Yusuf An-Nassaj). Aku menceritakan mimpiku kepadanya lalu ia pun tersenyum dan berkata:

'hai Abu hamid! Inilah alwah (kepingan/bahagian) kami pada permulaan, tetapi jika engkau terus bersahabat denganku akan dihiaskan mata pandangan engkau dengan celak anugerah ta'ayid (dokongan) hingga engkau melihat arashy dan sekelilingnya. Engkau tidaklah puas setakat itu hingga engkau dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan pandangan pancaindera. Maka hening bersihlah engkau dari kekeruhan tabi'i dan naiklah engkau ke atas edaran puncak akal engkau dan engkau akan mendengar firman daripada Allah Ta'ala kepada Musa yang bermaksud : 

"ya musa , sesungguhnya Aku adalah Allah, tuhan semesta alam" '

*Jika pada tahap seperti Imam Ghazali yg diberi gelaran 'Hujjatul Islam' tidaklah dapat ilmu ahli tasauf dgn tariqatnya melainkan dgn 'talqin, ijazah dan berguru maka tak usahlah pelik org yang menyalahkan kitab2 tasauf dan tariqatnya walaupun ia ulama di dalam bahagian ilmu yang lain2 spt kata hikmah:

"Setiap ilmu itu ada tokohnya dan setiap perkataan itu ada Kesesuaian tempatnya"

maka dari kata Al-Ghazali itu menunjukkan kepada kita bahawa ilmu umum tasauf itu telah ada dalam kitab dan tabaqat mereka, kecil dan besar, tetapi amalan dan latihan serta mujahadahnya mestilah berguru, berijazah; gurunya memberikan amanah dan anak murid menerima amanah. Amanah yg lebih mahal drpd emas dn manikam, lebih mahal dari harga dunia seluruhnya (jika kamu mengerti). 

~DR. BURHANUDDIN AL-HELMI~


IBNU ATHOILLAH  AS-SAKANDARI (658H-709 H)

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

PETIKAN: http://www.kangtris.com/2009/04/ibnu-athoillah-al-sakandari.html



KATA-KATA TOKOH YANG DI GELAR PENENTANG TASAUF


IBNU TAIMIYYAH

" Bahawa didalam dunia ini ada syurga. Siapa yang tak masuk dalam syurga itu tiadalah ia dapat masuk syurga akhirat"

"Apakah yang diperbuat musuh-musuhku terhadap aku? Aku dengan syurgaku dan tamanku dalam dadaku, jika aku pergi ke mana-mana ia adalah bersamaku tidaklah ia tinggal. Jika aku dipenjara aku berkhalwat, jika dibuang negeri aku makan angin dan jika dibunuh aku syahid."

Beliau yang menjadi imam menentang tasauf ini dari mula-mula ia mengembangkan mazhabnya tetapi pada penghujung hayatnya seperti mendokongi apa yang ditentang selama hayatnya dan mula  menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby.

"Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.


SYEIKH JAMALUDDIN AL-AFGHANI

"Orang-orang jahil, hakim-hakim yg zalim dan kerajaan eropah yang tamak mengambil peluang pada kelalaian orang-orang timur. Saya sesungguhnya sangat kuat beriman dengan agama saya. Saya percaya dengan akal saya dan pada aqal saya itu tiada kesudahannya. Saya beriman dengan perasaan saya, iaitu iman ahli tasauf yang mengakhirkan saya kepada keesaan wujud."

majalah al-Hilal



Yang Disalah Ertikan


“Seburuk-buruk tempat di muka bumi ialah tempat yang di dalamnya tidak ada Abul Hassan.”

Demikian Sayyidina Umar bin Al-Khatab memuji Sayyidina Ali bin Abu Talib Karramallahu Wajhah kerana ketinggian ilmu dan makrifatnya. Pujian yang dilontarkan Umar itu berdasarkan sebuah kisah pertemuan beliau dengan Huzaifah bin Yaman R.A.

Umar bertanya kepada Huzaifah: “Bagaimana keadaanmu?”

Aku menjadi orang yang menyukai fitnah, membenci yang haq, aku solat tanpa wudhuk, dan aku memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki Allah,” jawab Huzaifah.

Mendengar jawapan Huzaifah tersebut, Umar begitu marah sekali. Mukanya merah. Tiba-tiba Sayyidina Ali muncul. Melihat wajah Umar yang berubah, Ali segera bertanya:

“Mengapa engkau seperti orang sedang marah, wahai Amiril Mukminin?”

Lalu Umar menceritakan apa yang dikatakan oleh Huzaifah. Ternyata Ali membenarkan semua perkataan Huzaifah. Umar hairan dan bertanya:

“Jadi engkau juga membenarkan ucapannya, wahai Abul Hasan?”

“Betul !!!!!!!,” jawab Sayyidina Ali.

1.“Huzaifah menyukai fitnah kerana memang dia menyukai harta dan anak-anak. Bukankah Allah s.w.t. berfirman: “sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah fitnah.”

2.Dia membenci perkara yang haq, maksudnya ialah membenci kematian. Siapa diantara kita yang menyukai kematian, ya Amirul Mukminin?

3.Dia solat tanpa wudhuk, maksudnya ialah dia sering membaca selawat untuk Nabi.

4.Dia juga mengakui memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki Allah di langit, maksudnya     ialah isteri dan anak-anak.”

Mendengar keterangan tersebut, Umar berkata: “Seburuk-buruk tempat di muka bumi adalah yang tidak ada Abul Hasan di dalamnya.”

Demikianlah salah satu keperihalan pengucapan orang-orang yang punya ketinggian makrifat yang boleh mengelirukan tanggapan dan pandangan orang lain yang mendengarnya jika difahami zhohirnya sahaja. Hanya di kalangan mereka yang dikurniakan ketinggian makrifat yang sama jua yang dapat memahami makna dan idea sebenar yang terselindung di sebalik pengucapan tersebut. Jika tidak....banyaklah fitnah dan pelbagai tuduhan yang terburu-buru akan bertebaran lantaran kerana kependekkan akal dalam memahami idea dan maksudnya. Akal semata-mata tidak mampu untuk memaknakan himpunan maksud dan idea di sebaliknya. Ia memerlukan pancaran Nur Makrifat yang hanya boleh ditanggapi oleh Ainul Basyirah atau Mata Hati atau Qalbun yang bersedia untuk menerimanya. Dari kerana itulah, para penghulu tasauf seringkali menasihati murid-muridnya dan orang-orang awam supaya bersabar apabila mendengar atau menemui kalimah-kalimah tinggi ulama-ulama sufiah kerana pada mereka

"Bagi setiap ilmu ada ahlinya; dan setiap orang dimudahkan untuk mendapat apa yang diuntukkan baginya" dan "pada setiap yang zhohir itu ada batinnya".

Seorang ulama Indonesia pernah mengutarakan berkenaan seorang tokoh ilmuan Islam yang banyak mencetuskan kontroversi dari zaman beliau lagi hingga ke masa sekarang hanya kerana mengucapkan sesuatu yang melemahkan pendirian akal kebanyakan manusia sehingga mereka melontarkan pelbagai tuduhan dan tanggapan yang tersasar jauh dari kehendak dan maksud asalnya ditujukan kepada ilmuan Islam yang banyak berjasa dalam menjernihkan makna beragama.

Pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby dinilai oleh beberapa pihak, teruatama kaum fuqaha' dan ahli hadist sangat kontroversial. Sebab, teorinya tentang Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Hal ini disebabkan seluruh karya-karya Ibnu 'Araby, menggunakan bahasa simbolik, sehingga kalangan awam dan kaum tekstualis sangat kebingungan. Bahkan tidak sedikit yang mengganggap murtad dan kufur pada Ibnu 'Araby. Tak kurang, misalnya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah, dan pengikutnya. Tetapi pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby."Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya,"kata Ibnu Taimiyah.

Oleh yang demikian, benarlah apa yang disebut oleh Nabi SAW. yang bermaksud;

"Sesungguhnya setengah daripada ilmu itu (sangat rahsia) seperti keadaan sesuatu yg tersembunyi, tidak dapat diketahui ilmu (yg sangat rahsia itu) kecuali oleh ‘ulama Billah’. Maka apabila mereka (ulama Billah) menyebutkan ilmu rahsia itu maka tidak akan mengingkarkannya kecuali oleh org yg bukan ahli ilmu Billah.” Rawahu Abu Mansor.

Dan lagi berkata Abu Hurairah r.a yang bermaksud :

“Aku peroleh dari Nabi Muhamad SAW dua karung daripada ilmu. Maka adapun satu daripada dua (karung) ilmu itu aku ceritakan akan ia dan adapun ilmu lain yakni (karung) yang kedua daripadanya itu tiada aku ceritakan akan ia, Maka jikalau aku ceritakan akan dia nescaya dipotong orang akan leherku ini.” 

Dan lagi berkata Saidina Ali Karramallahu Wajhah yang bermaksud:

“Ya Tuhanku, mutiara sesuatu ilmu itu jikalau aku nyatakan dengan berterus terang nescaya akan dikatakan orang kepada aku: Engkau(Ali) adalah orang yang menyembah berhala. Dan sesungguhnya ada orang-orang Islam yang menghalalkan darahku. Mereka itu melihat perbuatan yg paling jahat yg mereka lakukan itu sebagai baik.” 

Fahamilah dan mengertilah saudara.....bicara ini hanya sekadar untuk menegaskan bahawa lautan ilmu Allah itu tiada terhad dan ketinggian dan kehalusan kenyataanNya hanyalah diberikan kepada mereka yang menjadi pilihanNya sahaja mengikut kadar yang diKehendakiNya. Berhati-hatilah dengan kelebihan ilmu yang ada pada kita dan janganlah pula dijadikan nikmat kurnia Allah; Ilmu yang sedikit itu sebagai alat untuk menghina dan melemparkan pelbagai tuduhan yang tidak sebenar kepada ahli-ahli makrifat dan para sufiah serta Aulia Allah yang hanya sekadar cuba menyatakan sesuatu isyarat yang dikutip dari Alam Tinggi. Ingatlah pada Firman Allah dalam Surah Yusuf : 76 yg bermaksud:

“ Di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan ada pula lagi orang yang lebih berpengetahuan.”

Firman Allah dalam Surah Al Kahfi : 109 yg bermaksud:

“ Katakanlah( Ya Muhammad): Kalau sekiranya lautan menjadi dakwat utk menulis kalimah-kalimah Tuhanku, sungguh habislah lautan itu, belum habis(ditulis) kalimah Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).

Ambillah sedikit pengajaran dan iktibar yang terdapat dari kisah Khaidir dan Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Quran. Sebahagiannya yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 78 hingga 82 yang terjemahan adalah seperti berikut;

Ia menjawab: "Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.

Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang-orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa ia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa, dan lebih mesra kasih sayangnya.

Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu; dan di bawahnya ada "harta terpendam" kepunyaan mereka; dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka). Dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri. Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya".

Jika seorang Nabi dan Rasul seperti Nabi Musa a.s tidak dapat menangkapi maksud sebenar perbuatan berhikmah Nabi Khaidir tanpa tunjukkan Allah, maka di manakah kedudukan kita dan dimanakah hak kita?

Bersyukurlah dengan apa yang telah dikurniakan dan carilah dengan bersungguh-sungguh apa yang masih kurang, amalkanlah semampu mungkin apa yang diketahui sebagai persediaan diri untuk menerima sesuatu yang belum diketahui lagi. Halakan butir-butir ilmu dan pengajaran yang diterima untuk membaiki kelemahan, kekurangan, keaiban dan kecelaan diri dan tebarkanlah kebaikan yang ada banyak manfaatnya untuk dikongsi bersama dengan saudara-saudara yang lain agar ilmu, pengajaran yang diterima serta amal sholeh yang dikerjakan akan bertambah-tambah keberkatannya.

Semoga Allah memberi saudara kebahagiaan yang maha tinggi yang ingin dicari oleh manusia; menjadikan saudara sebagai orang yang dipilihNya untuk naik ke darjah yang paling tinggi dan memenuhi pandangan saudara dengan cahaya hakikat, dan membuang dari batin saudara apa yang bukan hakiki.

Allahu A'lam

said hawa


Jangan Gopoh Dalam Bicara

Mengapa sepi?

Bukan tidak ada isu yang mahu diperkatakan. Bukan tidak ada topik ilmu yang mahu dikongsikan.

Tetapi ia tidak berlaku.

Segalanya berakhir dengan diam.

Saya sedang menyelak lembaran-lembaran kitab kecil tinggalan Said Hawwa.

Orangnya sangat berhalus, kritikannya amat berhemah. Tetapi Said Hawwa tetap tidak disenangi oleh segelintir pendukung gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Macam-macam label yang dilontarkan kepada beliau semasa hayatnya. Tetapi buku yang satu ini, besar maknanya jika pembacanya berjiwa besar untuk menerima kritikan Said Hawwa.

Buku yang saya maksudkan itu adalah Jundullah: Takhtithan. Naskhah yang ada bersama saya adalah terbitan Maktabah Wahbah, cetakan kedua tahun 1995.

Di dalam Fasal 6 di bawah tajuk Ketaatan dan Syura (al-Tha’ah wa al-Syura), Said Hawwa menggarap persoalan konteks dalam membicarakan salah letak yang berlaku di kalangan gerakan Islam.

Katanya, “sesungguhnya aku melihat adanya segelintir manusia yang menghairankan aku. Aku melihat mereka melayan isteri masing-masing seolah-olah si isteri itu adalah orang suruhannya. Perlakuan itu beralasankan hak ditaati yang diberikan oleh Islam kepada suami ke atas pihak isteri, dan itu menjadikan si isteri sebagai orang suruhan suaminya.”

Said Hawwa berhalus dengan memulakan bab ini dengan contoh yang berlaku di peringkat individu berkaitan dengan bidang kuasa dan ketaatan. Seorang suami boleh sahaja menyalahtanggap haknya sebagai suami dengan menjadikan ia sebagai alasan untuk memperhambakan isteri.

Bukan salah Islam.

Tetapi tafsirannya yang tersasar.

Said Hawwa menyambung lagi dengan katanya, “aku juga melihat segelintir kepimpinan Islam melayan pengikut-pengikutnya seperti hamba. Ia datang daripada tanggapan bahawa dirinya adalah Amir al-Mu’minin yang berhak untuk menerima ketaatan yang mutlak.”

Persoalan salah letak peraturan-peraturan Islam dikembangkan kepada subjek yang ingin disentuh secara khusus oleh Said Hawwa. Apa yang eksklusif menjadi tatacara hubungan di antara Amir al-Mu’minin dengan rakyatnya, diterap secara salah untuk seorang pemimpin mendesak ketaatan mutlak pengikut kepada dirinya. Beliau melihat kedudukannya sebagai pemimpin gerakan Islam, menjadikannya rakan sejawat dengan seorang Amir al-Mu’minin.

Inilah permulaan kritikan Said Hawwa kepada konsep Syura dan keputusan-keputusan yang terhasil daripadanya di dalam konteks sebuah gerakan Islam. Syura sebagai mekanisme pemerintahan, diambil tanpa tatacara dan garis panduan yang betul (dhawabith) untuk diimplementasikan dalam disiplin berjemaah sebuah gerakan Islam.

Said Hawwa menegaskan lagi,

“Sesungguhnya aku melihat adanya segelintir manusia yang mendakwa bahawa apabila sebuah tanzim bercakap (membuat keputusan), maka ia tidak berhajatkan kepada dalil syar’ie (sebagai sandaran), dan keadaan seperti ini hakikatnya adalah penganugerahan status maksum kepada yang pihak yang tidak berhak memiliknya. Ia adalah jalan diktatorisme dan pembekuan peranan nas.”

Teguran-teguran itu menyebabkan dada saya membuak-buak. Kepala hilang tenang. Terasa bagai Said Hawwa menyokong apa yang sedang saya rasai. Seolah-olah buku itu ditulis untuk saya dan bagi pihak saya. Justeru atas nama kebebasan bersuara dan hak amar ma’ruf nahi mungkar sama ada di dalam lingkungan tanzim atau pun di luarnya, saya mahu menulis sepanjang-panjangnya. Menyatakan rasa tidak setuju, malah menyatakan rasa mual juga dengan justifikasi-justifikasi yang dihasilkan di sana-sini untuk mewajarkan subjek yang gagal saya persetujui itu.

Tetapi apa gunanya jika apa yang saya tulis itu hanya berjaya menjelaskan pendirian saya (menegakkan kebenaran?), sedangkan implikasinya adalah kemusnahan reputasi gerakan Islam yang masih menjadi satu-satunya harapan realistik masyarakat untuk meruntuhkan jahiliyah di medan siasah negara.

Saya bukan pejuang teks.

Mahu memenangkan teks dengan mengorbankan realiti.

Menegakkan prinsip yang dianggap betul, di atas keruntuhan, kemusnahan serta anarki mikro dan makro, saya tidak pasti apakah itu yang saya mahukan.

Justeru kalam terhenti seketika. Tazkirah dari al-Murabbi Said Hawwa itu sudah memadai.

Saya mahu menghalusi liku-liku bicara Allah buat Jundi-Nya.

Jangan gopoh dalam berkata.


ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

cinta perlu hadir




aku cinta Kamu
aku perlu Kamu
hadirlah dalam hatiku

cinta kau palsu
perlu kau penipu
hadirkah Aku dalam ingatmu

betul aku cinta Kamu
betul aku perlu Kamu
tolonglah hadir cintaMu itu

kau kata cinta sedang kau alpa
kau kata perlu sedang kau bisu
kau harapKu singgahi kalbumu yang mati

tapi Kaukan cintaku
Kaukan jua perluku
apa lagi kurangnya aku

kau cinta aku kerana dirimu
kau perlu aku kerana nafsumu
maka dimana AKU dalam cinta dan perlumu?

Nafsu, peringkat dan ciri-cirinya


Nafsu adalah salah satu dari elemen penciptaan manusia yang menjadikan manusia ini unik dan lebih hebat serta halus penciptaannya dari makhluk lain. Nafsu merupakan sejenis alat yang dikurniakan Allah kepada manusia untuk kegunaan manusia hidup di muka bumi ini dengan fungsi tersendirinya mengisi kekosongan manusia dengan keinginan. 

Cuba bayangkan jika kita hidup tanpa nafsu, sedang akal menerima bahawa hidup ini hanya sementara dan kelak kita akan mati. maka kita akan hidup kepada tujuan kita (mati) tanpa keinginan hidup seperti seharusnya dibumi. Maka amat adillah Allah membekalkan kita dengan nafsu sebagai 'pemanis' kehidupan di dunia ini.

Nafsu adalah masalah

Jika kita imbau kembali nafsu adalah masalah dari awal penciptaannya lagi, berbuat sesuka hatinya dan amat liar, tetapi itulah ciri2nya yang menjadikan ia lain dari ciptaan Allah yang lain. Nafsu kalau tidak dididik ke arah kejahatan pun, dia tetap terdorong ke arah kejahatan. Allah telah nyatakan di dalam Al Quran:
Maksudnya: "Sesungguhnya nafsu itu sangat menyuruh kepada kejahatan." (Yusuf: 53)

Perlu difahami bahawa tidak adil dalam memandang nafsu itu sebagai sesuatu yang buruk atau negatif sahaja kerana ia turut memiliki sifat yang baik.

Nafsu yang mulia akan membawa manusia kearah kebaikan dan kebajikan serta mengenal tuhan penciptanya sedangkan nafsu yang hina akan membawa manusia kearah keburukan dan kerosakan serta bertuhan kepadanya. Nafsu yang negatif harus dibendung, dididik dan di' up-grade 'kan kepada nafsu yang positif yang melayakkan kita menerima title "sebaik-baik kejadian".


Peringkat Nafsu dan ciri-cirinya

Secara ringkasnya peringkat-peringkat itu ada 3 iaitu ammarah, lawwamah dan muthmainnah seperti yang disebutkan Al-Quran. Ulama yang arif dalam ilmu tasauf kemudiannya mengkategorikan semula  nafsu ini kepada 7 peringkat yang perlu dilalui oleh manusia:-

1.Nafsu Ammarah @ Tirani

2.Nafsu Lawwamah @ Penuh Penyesalan

3.Nafsu Mulhamah @ Terilham

4.Nafsu Muthmainnah @ Tenteram

5.Nafsu Radliyyah @ Redha

6.Nafsu Mardliyyah @ Diredhai Tuhan

7.Nafsu Kamilah @ Suci

Peringkat-peringkat nafsu ini dapat dicapai dengan riadhah dalam amalan secara berterusan dibawah bimbingan seorang mursyid, dan ia wajib dinaik tarafkan agar alat ini menjadi lebih berguna kepada manusia dan tidak sebaliknya.


1. Nafsu Ammarah @ Nafsu Tirani

Nafsu pertama yang harus ditakluki yang cenderung mengajak manusia kepada perkara negatif. Ciri-cirinya adalah seperti iri hati, dengki, takbur, pemarah, sombong dengan kemewahan dan mencari nama untuk kepentingan diri sendiri.

Nafsu yang paling jahat dan paling zalim. Jika berbuat kejahatan, dia berbangga dengan kejahatannya. Kalau terpaksa susah kerana kejahatannya, dia sanggup. Jika ada orang mengingatkannya tentang kejahatannya, dia akan menjawab, "Saya anak jantan." Bayangkanlah, kalau orang macam ini jadi pemimpin dan berkuasa.



2. Nafsu Lawwamah @ Nafsu Penuh Penyesalan

Ciri-cirinya adalah suka akan perbuatan baik tetapi masih lagi melakukan maksiat, suka membantah pada nilai-nilai positif dan suka menceritakan kebaikan diri sendiri agar dikagumi oleh orang lain. Sifatnya hampir sama dengan peringkat pertama namun ada perbezaan walaupun hanya sedikit.

Nafsu yang mencerca dirinya sendiri. Sentiasa kesal dengan din sendiri. Tidak hendak berbuat jahat tetapi tidak mampu melawan nafsu. Bila melakukan kejahatan, sedih tapi buat lagi. Ada kalanya buat jahat sehingga dikenakan hukuman dalam penjara. Janji tidak buat lagi tapi buat juga. Rasa sedih lagi dan buat jahat bukan kerana seronok tapi lemah melawan nafsu. Walaupun sudah niat tidak mahu buat lagi dan sudah serik, namun terbuat juga lagi. Contohnya, ketika lalu di kebun orang, ternampak limau, rambutan dan sebagainya, walaupun sudah berazam tidak akan mencuri, tetapi ambil dan mencuri lagi. Orang nafsu di peringkat ini sudah mula sedar tetapi tidak larat hendak melawan hawa nafsunya.


3. Nafsu Mulhamah @ Nafsu Terilham

Merupakan hasil positif dari penaklukan dua peringkat nafsu sebelumnya. Ciri-ciri positifnya adalah sabar, bersikap tenang, pemurah, merasa bersyukur dan suka mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan serta beramal baik.

Erti pada lafaz ialah nafsu yang telah diberi ilham, sudah mula dipimpin, diberi hidayah. Tuhan ambil perhatian sebab dia sudah mula mendidik nafsunya. Apabila seseorang itu bersungguh-sungguh melawan nafsunya, atas belas kasihan Allah maka Tuhan akan pimpin. Oleh kerana barn dididik, ibarat orang berjalan hendak menyeberang dan melintas jalan yang di tengah-tengah ada benteng, dia sudah berada di atas benteng. Ertinya dia sudah di atas sempadan (border).

Kalau tidak ada ribut atau ujian, jika mati insyaAllah selamat. Sebab sudah di atas border tapi belum sampai ke seberang. Namun masih dalam bahaya kerana apabila datang ribut, dia mungkin berbalik semula. Atau bila ujian datang, walaupun tidak jatuh tetapi sudah mula goyang. Orang di atas border ini tidak dikatakan tenang, masih dalam keadaan bahaya. Baru diberi ilham. Bila sudah sampai ke seberang barulah, masuk kawasan selamat dan barulah dikatakan tenang.

4. Nafsu Mutmainnah @ Nafsu Tenteram

Nafsu yang memiliki ciri-ciri mulia seperti tawakal, murah hati, suka mensyukuri nikmat tuhan meskipun hanya sebahagian kecil atau sederhana dan sabar atas bencana. Impak positif dari nafsu peringkat ini adalah munculnya sifat-sifat arif bijaksana manusia.

Istilah mutmainnah bermaksud tenang, tidak digugat oleh kesenangan dan kesusahan, tidak digugat oleh sihat atau sakit, orang hina atau orang puji. Semuanya sama sahaja. Pujian orang tidak menyebabkan hati terasa sedap dan tidak berbunga. Orang keji, tidak terasa sakit. Tidak ada perasaan hendak marah atau berdendam. Sebab hatinya sudah tenang, perkara positif atau negatif tidak menggugatnya. Orang ini sudah menjadi wali kecil, sudah naik di atas border orang soleh. Nafsu peringkat ini sudah sampai ke kawasan selamat, tidak tergugat lagi.

Maka Tuhan mengalu-alukan ketibaannya, dengan ayat:
Maksudnya: "Wahai nafsu (jiwa) yang tenang (suci). Kernbalilah kamu kepada Tuhanmu, dengan (hati) redha dan diredhai (Tuhan). Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu ke dalam Syurga-Ku." (Al Fajr: 27-30)

Dari ayat ini, seolah-olah Tuhan tidak sabar hendak menyambut tetamu-Nya: "Mari-mari, cepat-cepat Aku tidak sabar, Aku hendak jumpa engkau ini."

Kemudian, dalam ayat tadi, Tuhan berfirman:
Maksudnya: "Kembalilah dalam keadaan redha kepada Aku, dan Aku redha dengan engkau." (Al Fajr: 28)

Tuhan mengalu-alukan dan kalau mati pada waktu itu, dia selamat. Oleh kerana dia sudah selamat, sebab itulah Tuhan menyeru. Manakala bagi orang yang nafsunya belum selamat, dia akan mati dalam keadaan jikalau Tuhan hendak azab pun boleh, hendak diampunkan pun boleh.

Semuanya atas sebab keadilan Tuhan. Kalau kita hendak mengharapkan kekuatan diri sendiri, bimbang tidak selamat. Sebab itu kita mesti mencari kekuatan lain. Di antaranya perbanyakkan selawat, berbuat baik, bertawasul dengan guru-guru dan lain-lain, mudah-mudahan itu menyelamatkan. Allah berfirman:
Maksudnya: "Bergaullah dengan hamba-hamba-Ku (iaitu para rasul, para nabi dan wali-wali), dan masuklah ke Syurga. Ku." (Al Fajr: 29-30)
Ertinya, cari-carilah sebab untuk mendapatkan rahmat dan Allah SWT. Bila mencapai peringkat nafsu mutmainnah, baruĂ‚¬lah selamat. Nafsu-nafsu di bawah daripada peringkat itu tidak selamat.


5. Nafsu Radhiah @ Nafsu Redha

Dengan munculnya sifat-sifat kebijaksanaan maka seseorang itu akan dapat memanjat peringkat ke 5 ini. Ciri-ciri seseorang yang berada diperingkat nasfu ini adalah hidupnya diabdikan sepenuhnya hanya kepada tuhan, takut kepada tuhan bukan sebagai tuhan yang menyiksakan, tetapi kerana sifat Rahman dan Rahim-Nya

Orang yang berada di peringkat nafsu radhiah ini, dia me redhai apa sahaja yang Allah takdirkan kepadanya. Ia terhibur dengan ujian. Ia merasakan ujian adalah hadiah dari Tuhan. Bila orang menghinanya, dia berterima kasih kepada Tuhan dan dia rasa bahagia. Sebab itu mereka yang berada di maqam ini, bila kena pukul, mereka rasa puas. Bila ditampar, seolah-olah minta ditampar lagi. Nafsunya sudah jadi malaikat.


6. Nafsu Mardhiah @ Nafsu Diredhai Tuhan

Peringkat dimana jiwa sentiasa dihiasi dengan kesucian, kemuliaan dan kesempurnaan. Baik perkataan mahupun perbuatan, semuanya diredhai tuhan kerana jiwa, hati, perasaan, gerak-geri, penglihatan, pendengaran, dan perjalanan hanya untuk-Nya. Pada peringkat ini, seseorang insyaalah dapat memiliki kehebatan dan keistimewaan luar biasa.

Orang yang berada di peringkat nafsu ini ialah apa saja yang mereka lakukan mendapat keredhaan Tuhan. Mereka inilah yang disebut dalam Hadis Qudsi: "Mereka melihat dengan pandangan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, berkata-kata dengan kata-kata Tuhan."
Kata-kata mereka masin, sebab itu mereka cukup menjaga tutur kata. Kalaulah mereka mengatakan celaka, maka celakalah. Kerana kata-kata mereka, kata-kata yang diredhai Tuhan. Mereka memandang besar apa saja yang Tuhan lakukan.


Orang yang berada di peringkat nafsu ini ialah apa saja yang mereka lakukan mendapat keredhaan Tuhan. Mereka inilah yang disebut dalam Hadis Qudsi: "Mereka melihat dengan pandangan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, berkata-kata dengan kata-kata Tuhan."
Kata-kata mereka masin, sebab itu mereka cukup menjaga tutur kata. Kalaulah mereka mengatakan celaka, maka celakalah. Kerana kata-kata mereka, kata-kata yang diredhai Tuhan. Mereka memandang besar apa saja yang Tuhan lakukan.


7. Nafsu Kamilah @ Nafsu Suci 

Merupakan peringkat tertinggi dari segala peringkat nafsu. Nafsu ini hanya dimiliki oleh para rasul, nabi.

Nafsu peringkat ke-5, ke-6 dan ke-7 adalah darjat atau peningkatan kepada nafsu mutmainnah tadi. Bagi nafsu kamilah, manusia biasa tidak boleh sampai ke makam ini. Kamilah hanya darjat untuk para rasul dan para nabi. Manusia biasa hanya setakat peringkat keenam sahaja iaitu mardhiah. Ini sudah taraf wali besar.


Maka menjadi kewajipan kita mendidik nafsu yang hina ini kepada mulia dan bukan kita membuang terus elemen yang dianggap sebagai masalah kepada kita untuk taat perintah Allah, kerana ia punya fungsinya yang tersendiri yang menjadikan kita ini manusia dengannya dan ia menjadi alat yang bermanfaat kepada manusia dan tidak sebaliknya.

Caranya adalah seperti yang telah banyak dianjurkan oleh mereka yang punya basirah (mata hati) iaitu dengan mujahadah dalam amalan secara berterusan dengan dibimbing oleh mereka yang sudah melalui serta lepas praktikalnya mendidik nafsu dan mendiami makam nafsu peringkat tinggi . Hal ini adalah bertepatan dengan sunnah nabi s.a.w dan para sahabat di mana baginda bimbing oleh malaikat jibrail dan kemudiannya baginda membimbing para sahabat. Maka bimbingan mursyid ini adalah amat perlu untuk kita belajar mendidik nafsu yang merupakan jihad terbesar kita di dalam hidup sementara ini seperti yang telah dinyatakan oleh baginda s.a.w dalam menuju redha Ilahi.

Rahim Allah yang pelik

lokasi bukit tursina



"maha suci engkau ya Allah, aku bertaubat kepadamu dan  aku orang yang pertama-tama beriman". 

Demikianlah kata-kata nabi Allah musa sebaik sahaja terjaga dari pengsannya diatas bukit tursina akibat melihat akan cahaya Allah yang dipintanya. Dengan Rahimnya Allah nabi musa diselamatkan buat sekian kalinya dari bahaya ujub yang melandanya kerana kedudukan dan kelebihannya selaku manusia terhebat zamannya yang membolehkannya berkata langsung dengan Allah. Dari hal itulah maka dia meminta suatu yang tidak pernah diminta oleh nabi2 sebelumnya iaitu melihat akan wajah Allah secara terus.


"musa berdoa : ya tuhanku, ampunilah aku da saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmatMu, dan Engkaulah yg Maha penyayang diantara para penyayang"

- Al-A'raf 151-

nabi musa memanjatkat doa tersebut setelah sedar dari kemarahan lantaran melihat kaum yang ditinggal dan diamanahkannya kepada nabi harun sesat menyembah patung anak lembu. Amarahnya itu menyebabkan dia membaling luh-luh (taurat) yg baru sahaja diterimanya di puncak tursina dan turut menyebabkan dia berkasar (akibat salah faham) kepada saudaranya Nabi Harun a.s. 

Maha Suci Allah yg memakbulkan doa nabi musa a.s. dan memasukkan mereka yang bertaqwa kedalam rahmatnya setelah mereka bertaubat dan kembali beriman kepada Allah Taala, dan sesungghnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

"sesudah amarah musa menjadi reda, lalu diambilnya kembali luh-luh(taurat) itu, dan didalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada tuhannya"

- Al-A'raf 154-



Dosa sebagai penyedar

begitulah yang sebutkan Allah kepada baginda nabi saw dalam sepotong hadith qudsi yang mafhumnya:

dia (Allah) mentakdirkan manusia ini berdosa adalah semata2 untuk mengelakkan manusia terjebak kedalam dosa yang lebih besar yakni syirik kecil (ujub&takabbur).

begitulah kasihnya Allah kepada hambanya sehingga dia menjaga kita dari suatu bencana besar yang tidak kita sedari (ujub & takabbur), dengan mentakdirkan manusia berbuat dosa dan hasil dari dosa tersebut manusia itu merasa hina, rendah serta lemah setelah dia sedar dan bertaubat dari dosanya itu.

maka cubalah bayangkan jika terdapat manusia yang tidak berdosa (tidak melakukan sebarang kesalahan) dan hidup sepertinya malaikat yang senantiasa taat, sudah tentu manusia itu bakal merampas akan selendang kebesaran Allah secara tidak sedar dan berakhir dengan kesesatan sepertinya yang berlaku kepada azazil. Oleh kerana itu ditakdirkan semua manusia itu melakukan kesalahan dan berdosa termasuk para ambia a.s. . Cumanya para ambia itu adalah makhluk yang Allah telah sucikan kesalahan mereka dan terbimbing terus dariNya, maka jadilah mereka maksum. Sesungguhnya para ambia adalah makhluk yang paling banyak memohon ampun dari Allah dan yang paling takutkan Allah.

maka sedarlah bahawa bukan kerana dosamu yang kemudian kau disumbat kedalam neraka dan bukan kerana taatmu kemudian kau dianugerahi syurga melainkan kerana adilnya Allah kau dicampak ke neraka dan kerana rahmatnya Allah kau dikurnia syurga.


Dr Burhanuddin The Story


Ayahanda saya adalah seorang sufi dan bertariqat Naqsyabandi serta dengan lurus dan waraknya. Maka saya pun dari kecil dilatihnya secara waraknya dan mesti kuat beribadat mengikut-ngikut dia sembahyang berjemaah, membaca Quran dan berzanji, ahzab dan zikir. Sebagai orang muda tiadalah saya tahu apa-apa. Saya ikut-ikut itu kerana malu dan segan jua. Saya lakukan dengan berat kerana kawan-kawan lain dapat lepas dan bermain-main, saya tidak.

Bila saya dapat belajar keluar negara, di Indonesia dapat saya belajar bahasa Belanda dan guru-guru agama saya pula ulama-ulama kaum muda dan berfaham progresif dalam Islam. Maka fikiran saya terbentuk dengan membaca keterangan­-keterangan moden dan majalah-majalah moden seperti : al-Manar dan al-Fath . Saya pelajari ilmu-ilmu Usul Feqh, Usul Ahkam, Mazahib al-Arba' ah, dan membaca kitab­ kitab Bidayatul Mujtahid, Subulus Salam, kitab-kitab Ibnu

Taimiah, Ibnu Qayyim, al-Syaukani, Abdul Wahab al-Wahabi, al-Saiyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Redha dan akhimya Thantawi. Saya pun terbalik bertentang dengan ayah saya dalam pendirian. Saya memusuhi jumud kolot. Pada saya tasawwuf dan tariqatnya itu suatu ajaran mematikan semangat dan campur aduk dengan bid`ah. Pada saya kitab tasawwuf seperti karangan Imam Ghazali itu saya pandang seperti madu bercampur racun, kerana saya pandang dari segi perbahasan feqh, tafsir dan hadith tidak kuat menurut kaedah rawi dan sebagainya. Ini berlaku di antara tahun 1927 hingga tahun 1940. Pendeknya ilmu tasawwuf saya ketepikan. Jiwa saya tidak mahu langsung kepadanya, apa lagi sebagai seorang wartawan muda pada tahun 1937 saya keluarkan majalah (Taman Bahagia) lalu tertangkap kerana saya didapati oleh penjajah berpolitik tegas dan berbahaya kepada penjajah dan akan membangkitkan kesedaran rakyat, hinggalah sekarang perkataan Malaya jadi Palestin Kedua) masih kedengaran diperkatakan orang.



Masa saya di Indonesia saya dapat mempelajari bahasa Inggeris dan Perancis, dan dalam mempelajari ilmu kedoktoran homeopati asas bahasa Belanda memudahkan saya mempelajari bahasa Jerman. Kemudian masuklah saya ke dalam perguruan psikologi-metafizik, ilmu rohani juga falsafah dan perbezaan-perbezaan agama besar di dunia ini. Apabila menyusun-nyusun tesis untuk kedoktoran filosofi (Ph.D) maka terpaksalah saya berfikir mendalam mengambil di mana titik berat, intisari dan pati punca perbezaan dan perbalahan. Maka termasuklah

membahaskan berkenaan dengan sufi itu yang termasuk dalam falsafah. Saya pelajari sufi dari bahasa-bahasa Eropah.'' Terpaksalah balik saya mengenal al-Ghazali, al-Badawi, al-Rifa'i, al-Rumi, al-Qusyairi, Ibnu `Ato' dan lain-lain serta merujuk kitab­kitab Eropah itu kepada kitab-kitab Arab maka barulah saya'' kembali mencari kitab-kitab arabnya pula.

Kemudian setelah saya siasati kedatangan Islam ke nusantara kita ini dan datuk nenek kita memeluk agama Islam'' yang Hanif ini terutamanya dan kesan-kesannya ialah daripada'' ulama Syi'ah dan ulama tasawwuf. Para ulama itu datang secara saudagar atau secara mubaligh; bukan masuk melalui ulama­ ulama feqh. Islam masuk di nusantara kita ini berkembang tidak'' dengan kekerasan atau paksa tetapi dengan kemahuan hati dan pilihan jiwa yang dapat mengatasi pelajaran agama Hindu dan' Buddha bagaimana yang diperjuangkan oleh Wali Songo di Jawa dan lain-lain kepulauan, maka beransur-ansur nampaklah saya'' kesenian ilmu tasawwuf".

Hebatlah sungguh perlawanan di dalam diri saya sendiri pertentangan-pertentangan yang saya katakan dahulu itu, tasawwuf kolot dan jumud dengan Islam progresif dan saintifik.'

Bila kita halusi intisari ilmu metafizik dan pengertian ilmu ''mithal" yang diterangkan oleh ulama-ulama tasawwuf dipandang dari segi perbahasan ilmiah hari ini nampaklah kita di mana seni kebenaran ilmu tasawwuf dan tariqat-tariqatnya.

Membuangkan Antah Ambil Beras

Sudah cukup banyak penentangan-penentangan dan lawan-lawan tasawwuf dan tariqat-tariqatnya dari kurun ke-4 hingga kurun ke-13. Jika adalah lawan-lawan dan tentangan­tentangan yang baru semuanya adalah mengikut hujah dan cara aliran fikiran dan pendapat ulama-ulama yang dahulu-dahulu itulah jua. Semuanya sudah kita dapati tertulis dalam kitab-kitab yang muktabar yang boleh kita dapati sekarang. Saya rasa tiadalah gunanya kita ungkit-ungkit dan bongkar-bongkar lagi hanya mengulang-ngulang bahas dan jadal yang sudah pun masak dibahaskan oleh ulama yang dahulu. Apa yang balik kita bahaskan tasawwuf itu dari segi ilmu moden pula kerana tiada dapat kita nafikan bahawa tasawwuf dan tariqat-tariqatnya sudah menjadi ilmu Islam seperti adanya mazhab-mazhab dalam Islam.

Kesedaran yang perlu ialah perbezaan pendapat mazhab-mazhab terhadap tariqat Sufiah itu kita buangkan. Segala keraguan-keraguan dan syubhatnya kita bawakan kepada seterang-seterang kehendak isi hikmah ajaran al-Quran dan al-Sunnah al-Nabawiyah. Hal ini menguntungkan kita dan masyarakat, sebagaimana orang-orang Eropah telah mempelajari ilmu-ilmu keduniaan daripada tamadun Islam dahulu seperti ilmu Kedoktoran, Falak, Algebra, Kimia sehingga mereka maju pada masa ini. Sekarang pun mereka mempelajari sedalam-­dalamnya ilmu metafizik mistik- alam mithal dan rahsia ilmu tasawwuf.

petikan dari:

Persidangan Pembukaan Kongres Ahli-ahli Tariqat As-Sufiah

Dewan Bandaraya Kuala Lumpur

 2 Oktober 1960


 

sufiharaki

Mengajak anda dalam lebih teliti dan halus dalam aspek beragama dan menyampaikan masej dakwah ilAllah, kerana sesungguhnya Islam tidak akan dapat mencapai kegemilangannya kembali melainkan dengan cara ia mencapai kegemilangannya pada masa lalu iaitu dengan benar-benar menuruti sunnah baginda Rasul s.a.w

Usage Policies