SUFI HARAKI
this site the web

Penentang yang menjadi Pendokong


IMAM AL-GHAZALI R.A. (450H - 505H)

"Hal aku pada mulanya menentang dan menolak hal solihin dan kedudukan al-'Arifin hingga aku bersahabat dengan syeikh aku ( Yusuf An-Nassaj) maka selalulah beliau menggilap jiwaku dengan mujahadah hingga dapatlah aku beberapa wirid. Maka aku pun bermimpi melihat Allah di dalam tidurku (panjanglah juga cerita mimpinya melihat Allah itu yang memberikannya keyakinan dan kesungguhan hati).

"Maka bangunlah aku daripada tidurku dengan sukacitanya mengadap syeikhku( Yusuf An-Nassaj). Aku menceritakan mimpiku kepadanya lalu ia pun tersenyum dan berkata:

'hai Abu hamid! Inilah alwah (kepingan/bahagian) kami pada permulaan, tetapi jika engkau terus bersahabat denganku akan dihiaskan mata pandangan engkau dengan celak anugerah ta'ayid (dokongan) hingga engkau melihat arashy dan sekelilingnya. Engkau tidaklah puas setakat itu hingga engkau dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan pandangan pancaindera. Maka hening bersihlah engkau dari kekeruhan tabi'i dan naiklah engkau ke atas edaran puncak akal engkau dan engkau akan mendengar firman daripada Allah Ta'ala kepada Musa yang bermaksud : 

"ya musa , sesungguhnya Aku adalah Allah, tuhan semesta alam" '

*Jika pada tahap seperti Imam Ghazali yg diberi gelaran 'Hujjatul Islam' tidaklah dapat ilmu ahli tasauf dgn tariqatnya melainkan dgn 'talqin, ijazah dan berguru maka tak usahlah pelik org yang menyalahkan kitab2 tasauf dan tariqatnya walaupun ia ulama di dalam bahagian ilmu yang lain2 spt kata hikmah:

"Setiap ilmu itu ada tokohnya dan setiap perkataan itu ada Kesesuaian tempatnya"

maka dari kata Al-Ghazali itu menunjukkan kepada kita bahawa ilmu umum tasauf itu telah ada dalam kitab dan tabaqat mereka, kecil dan besar, tetapi amalan dan latihan serta mujahadahnya mestilah berguru, berijazah; gurunya memberikan amanah dan anak murid menerima amanah. Amanah yg lebih mahal drpd emas dn manikam, lebih mahal dari harga dunia seluruhnya (jika kamu mengerti). 

~DR. BURHANUDDIN AL-HELMI~


IBNU ATHOILLAH  AS-SAKANDARI (658H-709 H)

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

PETIKAN: http://www.kangtris.com/2009/04/ibnu-athoillah-al-sakandari.html



KATA-KATA TOKOH YANG DI GELAR PENENTANG TASAUF


IBNU TAIMIYYAH

" Bahawa didalam dunia ini ada syurga. Siapa yang tak masuk dalam syurga itu tiadalah ia dapat masuk syurga akhirat"

"Apakah yang diperbuat musuh-musuhku terhadap aku? Aku dengan syurgaku dan tamanku dalam dadaku, jika aku pergi ke mana-mana ia adalah bersamaku tidaklah ia tinggal. Jika aku dipenjara aku berkhalwat, jika dibuang negeri aku makan angin dan jika dibunuh aku syahid."

Beliau yang menjadi imam menentang tasauf ini dari mula-mula ia mengembangkan mazhabnya tetapi pada penghujung hayatnya seperti mendokongi apa yang ditentang selama hayatnya dan mula  menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby.

"Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.


SYEIKH JAMALUDDIN AL-AFGHANI

"Orang-orang jahil, hakim-hakim yg zalim dan kerajaan eropah yang tamak mengambil peluang pada kelalaian orang-orang timur. Saya sesungguhnya sangat kuat beriman dengan agama saya. Saya percaya dengan akal saya dan pada aqal saya itu tiada kesudahannya. Saya beriman dengan perasaan saya, iaitu iman ahli tasauf yang mengakhirkan saya kepada keesaan wujud."

majalah al-Hilal



Yang Disalah Ertikan


“Seburuk-buruk tempat di muka bumi ialah tempat yang di dalamnya tidak ada Abul Hassan.”

Demikian Sayyidina Umar bin Al-Khatab memuji Sayyidina Ali bin Abu Talib Karramallahu Wajhah kerana ketinggian ilmu dan makrifatnya. Pujian yang dilontarkan Umar itu berdasarkan sebuah kisah pertemuan beliau dengan Huzaifah bin Yaman R.A.

Umar bertanya kepada Huzaifah: “Bagaimana keadaanmu?”

Aku menjadi orang yang menyukai fitnah, membenci yang haq, aku solat tanpa wudhuk, dan aku memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki Allah,” jawab Huzaifah.

Mendengar jawapan Huzaifah tersebut, Umar begitu marah sekali. Mukanya merah. Tiba-tiba Sayyidina Ali muncul. Melihat wajah Umar yang berubah, Ali segera bertanya:

“Mengapa engkau seperti orang sedang marah, wahai Amiril Mukminin?”

Lalu Umar menceritakan apa yang dikatakan oleh Huzaifah. Ternyata Ali membenarkan semua perkataan Huzaifah. Umar hairan dan bertanya:

“Jadi engkau juga membenarkan ucapannya, wahai Abul Hasan?”

“Betul !!!!!!!,” jawab Sayyidina Ali.

1.“Huzaifah menyukai fitnah kerana memang dia menyukai harta dan anak-anak. Bukankah Allah s.w.t. berfirman: “sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah fitnah.”

2.Dia membenci perkara yang haq, maksudnya ialah membenci kematian. Siapa diantara kita yang menyukai kematian, ya Amirul Mukminin?

3.Dia solat tanpa wudhuk, maksudnya ialah dia sering membaca selawat untuk Nabi.

4.Dia juga mengakui memiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki Allah di langit, maksudnya     ialah isteri dan anak-anak.”

Mendengar keterangan tersebut, Umar berkata: “Seburuk-buruk tempat di muka bumi adalah yang tidak ada Abul Hasan di dalamnya.”

Demikianlah salah satu keperihalan pengucapan orang-orang yang punya ketinggian makrifat yang boleh mengelirukan tanggapan dan pandangan orang lain yang mendengarnya jika difahami zhohirnya sahaja. Hanya di kalangan mereka yang dikurniakan ketinggian makrifat yang sama jua yang dapat memahami makna dan idea sebenar yang terselindung di sebalik pengucapan tersebut. Jika tidak....banyaklah fitnah dan pelbagai tuduhan yang terburu-buru akan bertebaran lantaran kerana kependekkan akal dalam memahami idea dan maksudnya. Akal semata-mata tidak mampu untuk memaknakan himpunan maksud dan idea di sebaliknya. Ia memerlukan pancaran Nur Makrifat yang hanya boleh ditanggapi oleh Ainul Basyirah atau Mata Hati atau Qalbun yang bersedia untuk menerimanya. Dari kerana itulah, para penghulu tasauf seringkali menasihati murid-muridnya dan orang-orang awam supaya bersabar apabila mendengar atau menemui kalimah-kalimah tinggi ulama-ulama sufiah kerana pada mereka

"Bagi setiap ilmu ada ahlinya; dan setiap orang dimudahkan untuk mendapat apa yang diuntukkan baginya" dan "pada setiap yang zhohir itu ada batinnya".

Seorang ulama Indonesia pernah mengutarakan berkenaan seorang tokoh ilmuan Islam yang banyak mencetuskan kontroversi dari zaman beliau lagi hingga ke masa sekarang hanya kerana mengucapkan sesuatu yang melemahkan pendirian akal kebanyakan manusia sehingga mereka melontarkan pelbagai tuduhan dan tanggapan yang tersasar jauh dari kehendak dan maksud asalnya ditujukan kepada ilmuan Islam yang banyak berjasa dalam menjernihkan makna beragama.

Pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu 'Araby dinilai oleh beberapa pihak, teruatama kaum fuqaha' dan ahli hadist sangat kontroversial. Sebab, teorinya tentang Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Hal ini disebabkan seluruh karya-karya Ibnu 'Araby, menggunakan bahasa simbolik, sehingga kalangan awam dan kaum tekstualis sangat kebingungan. Bahkan tidak sedikit yang mengganggap murtad dan kufur pada Ibnu 'Araby. Tak kurang, misalnya Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah, dan pengikutnya. Tetapi pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby."Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya,"kata Ibnu Taimiyah.

Oleh yang demikian, benarlah apa yang disebut oleh Nabi SAW. yang bermaksud;

"Sesungguhnya setengah daripada ilmu itu (sangat rahsia) seperti keadaan sesuatu yg tersembunyi, tidak dapat diketahui ilmu (yg sangat rahsia itu) kecuali oleh ‘ulama Billah’. Maka apabila mereka (ulama Billah) menyebutkan ilmu rahsia itu maka tidak akan mengingkarkannya kecuali oleh org yg bukan ahli ilmu Billah.” Rawahu Abu Mansor.

Dan lagi berkata Abu Hurairah r.a yang bermaksud :

“Aku peroleh dari Nabi Muhamad SAW dua karung daripada ilmu. Maka adapun satu daripada dua (karung) ilmu itu aku ceritakan akan ia dan adapun ilmu lain yakni (karung) yang kedua daripadanya itu tiada aku ceritakan akan ia, Maka jikalau aku ceritakan akan dia nescaya dipotong orang akan leherku ini.” 

Dan lagi berkata Saidina Ali Karramallahu Wajhah yang bermaksud:

“Ya Tuhanku, mutiara sesuatu ilmu itu jikalau aku nyatakan dengan berterus terang nescaya akan dikatakan orang kepada aku: Engkau(Ali) adalah orang yang menyembah berhala. Dan sesungguhnya ada orang-orang Islam yang menghalalkan darahku. Mereka itu melihat perbuatan yg paling jahat yg mereka lakukan itu sebagai baik.” 

Fahamilah dan mengertilah saudara.....bicara ini hanya sekadar untuk menegaskan bahawa lautan ilmu Allah itu tiada terhad dan ketinggian dan kehalusan kenyataanNya hanyalah diberikan kepada mereka yang menjadi pilihanNya sahaja mengikut kadar yang diKehendakiNya. Berhati-hatilah dengan kelebihan ilmu yang ada pada kita dan janganlah pula dijadikan nikmat kurnia Allah; Ilmu yang sedikit itu sebagai alat untuk menghina dan melemparkan pelbagai tuduhan yang tidak sebenar kepada ahli-ahli makrifat dan para sufiah serta Aulia Allah yang hanya sekadar cuba menyatakan sesuatu isyarat yang dikutip dari Alam Tinggi. Ingatlah pada Firman Allah dalam Surah Yusuf : 76 yg bermaksud:

“ Di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan ada pula lagi orang yang lebih berpengetahuan.”

Firman Allah dalam Surah Al Kahfi : 109 yg bermaksud:

“ Katakanlah( Ya Muhammad): Kalau sekiranya lautan menjadi dakwat utk menulis kalimah-kalimah Tuhanku, sungguh habislah lautan itu, belum habis(ditulis) kalimah Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).

Ambillah sedikit pengajaran dan iktibar yang terdapat dari kisah Khaidir dan Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Quran. Sebahagiannya yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 78 hingga 82 yang terjemahan adalah seperti berikut;

Ia menjawab: "Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.

Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang-orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa ia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa, dan lebih mesra kasih sayangnya.

Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu; dan di bawahnya ada "harta terpendam" kepunyaan mereka; dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka). Dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri. Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya".

Jika seorang Nabi dan Rasul seperti Nabi Musa a.s tidak dapat menangkapi maksud sebenar perbuatan berhikmah Nabi Khaidir tanpa tunjukkan Allah, maka di manakah kedudukan kita dan dimanakah hak kita?

Bersyukurlah dengan apa yang telah dikurniakan dan carilah dengan bersungguh-sungguh apa yang masih kurang, amalkanlah semampu mungkin apa yang diketahui sebagai persediaan diri untuk menerima sesuatu yang belum diketahui lagi. Halakan butir-butir ilmu dan pengajaran yang diterima untuk membaiki kelemahan, kekurangan, keaiban dan kecelaan diri dan tebarkanlah kebaikan yang ada banyak manfaatnya untuk dikongsi bersama dengan saudara-saudara yang lain agar ilmu, pengajaran yang diterima serta amal sholeh yang dikerjakan akan bertambah-tambah keberkatannya.

Semoga Allah memberi saudara kebahagiaan yang maha tinggi yang ingin dicari oleh manusia; menjadikan saudara sebagai orang yang dipilihNya untuk naik ke darjah yang paling tinggi dan memenuhi pandangan saudara dengan cahaya hakikat, dan membuang dari batin saudara apa yang bukan hakiki.

Allahu A'lam

said hawa


Jangan Gopoh Dalam Bicara

Mengapa sepi?

Bukan tidak ada isu yang mahu diperkatakan. Bukan tidak ada topik ilmu yang mahu dikongsikan.

Tetapi ia tidak berlaku.

Segalanya berakhir dengan diam.

Saya sedang menyelak lembaran-lembaran kitab kecil tinggalan Said Hawwa.

Orangnya sangat berhalus, kritikannya amat berhemah. Tetapi Said Hawwa tetap tidak disenangi oleh segelintir pendukung gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Macam-macam label yang dilontarkan kepada beliau semasa hayatnya. Tetapi buku yang satu ini, besar maknanya jika pembacanya berjiwa besar untuk menerima kritikan Said Hawwa.

Buku yang saya maksudkan itu adalah Jundullah: Takhtithan. Naskhah yang ada bersama saya adalah terbitan Maktabah Wahbah, cetakan kedua tahun 1995.

Di dalam Fasal 6 di bawah tajuk Ketaatan dan Syura (al-Tha’ah wa al-Syura), Said Hawwa menggarap persoalan konteks dalam membicarakan salah letak yang berlaku di kalangan gerakan Islam.

Katanya, “sesungguhnya aku melihat adanya segelintir manusia yang menghairankan aku. Aku melihat mereka melayan isteri masing-masing seolah-olah si isteri itu adalah orang suruhannya. Perlakuan itu beralasankan hak ditaati yang diberikan oleh Islam kepada suami ke atas pihak isteri, dan itu menjadikan si isteri sebagai orang suruhan suaminya.”

Said Hawwa berhalus dengan memulakan bab ini dengan contoh yang berlaku di peringkat individu berkaitan dengan bidang kuasa dan ketaatan. Seorang suami boleh sahaja menyalahtanggap haknya sebagai suami dengan menjadikan ia sebagai alasan untuk memperhambakan isteri.

Bukan salah Islam.

Tetapi tafsirannya yang tersasar.

Said Hawwa menyambung lagi dengan katanya, “aku juga melihat segelintir kepimpinan Islam melayan pengikut-pengikutnya seperti hamba. Ia datang daripada tanggapan bahawa dirinya adalah Amir al-Mu’minin yang berhak untuk menerima ketaatan yang mutlak.”

Persoalan salah letak peraturan-peraturan Islam dikembangkan kepada subjek yang ingin disentuh secara khusus oleh Said Hawwa. Apa yang eksklusif menjadi tatacara hubungan di antara Amir al-Mu’minin dengan rakyatnya, diterap secara salah untuk seorang pemimpin mendesak ketaatan mutlak pengikut kepada dirinya. Beliau melihat kedudukannya sebagai pemimpin gerakan Islam, menjadikannya rakan sejawat dengan seorang Amir al-Mu’minin.

Inilah permulaan kritikan Said Hawwa kepada konsep Syura dan keputusan-keputusan yang terhasil daripadanya di dalam konteks sebuah gerakan Islam. Syura sebagai mekanisme pemerintahan, diambil tanpa tatacara dan garis panduan yang betul (dhawabith) untuk diimplementasikan dalam disiplin berjemaah sebuah gerakan Islam.

Said Hawwa menegaskan lagi,

“Sesungguhnya aku melihat adanya segelintir manusia yang mendakwa bahawa apabila sebuah tanzim bercakap (membuat keputusan), maka ia tidak berhajatkan kepada dalil syar’ie (sebagai sandaran), dan keadaan seperti ini hakikatnya adalah penganugerahan status maksum kepada yang pihak yang tidak berhak memiliknya. Ia adalah jalan diktatorisme dan pembekuan peranan nas.”

Teguran-teguran itu menyebabkan dada saya membuak-buak. Kepala hilang tenang. Terasa bagai Said Hawwa menyokong apa yang sedang saya rasai. Seolah-olah buku itu ditulis untuk saya dan bagi pihak saya. Justeru atas nama kebebasan bersuara dan hak amar ma’ruf nahi mungkar sama ada di dalam lingkungan tanzim atau pun di luarnya, saya mahu menulis sepanjang-panjangnya. Menyatakan rasa tidak setuju, malah menyatakan rasa mual juga dengan justifikasi-justifikasi yang dihasilkan di sana-sini untuk mewajarkan subjek yang gagal saya persetujui itu.

Tetapi apa gunanya jika apa yang saya tulis itu hanya berjaya menjelaskan pendirian saya (menegakkan kebenaran?), sedangkan implikasinya adalah kemusnahan reputasi gerakan Islam yang masih menjadi satu-satunya harapan realistik masyarakat untuk meruntuhkan jahiliyah di medan siasah negara.

Saya bukan pejuang teks.

Mahu memenangkan teks dengan mengorbankan realiti.

Menegakkan prinsip yang dianggap betul, di atas keruntuhan, kemusnahan serta anarki mikro dan makro, saya tidak pasti apakah itu yang saya mahukan.

Justeru kalam terhenti seketika. Tazkirah dari al-Murabbi Said Hawwa itu sudah memadai.

Saya mahu menghalusi liku-liku bicara Allah buat Jundi-Nya.

Jangan gopoh dalam berkata.


ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 AMPANG

cinta perlu hadir




aku cinta Kamu
aku perlu Kamu
hadirlah dalam hatiku

cinta kau palsu
perlu kau penipu
hadirkah Aku dalam ingatmu

betul aku cinta Kamu
betul aku perlu Kamu
tolonglah hadir cintaMu itu

kau kata cinta sedang kau alpa
kau kata perlu sedang kau bisu
kau harapKu singgahi kalbumu yang mati

tapi Kaukan cintaku
Kaukan jua perluku
apa lagi kurangnya aku

kau cinta aku kerana dirimu
kau perlu aku kerana nafsumu
maka dimana AKU dalam cinta dan perlumu?
 

sufiharaki

Mengajak anda dalam lebih teliti dan halus dalam aspek beragama dan menyampaikan masej dakwah ilAllah, kerana sesungguhnya Islam tidak akan dapat mencapai kegemilangannya kembali melainkan dengan cara ia mencapai kegemilangannya pada masa lalu iaitu dengan benar-benar menuruti sunnah baginda Rasul s.a.w

Usage Policies