SUFI HARAKI
this site the web

Penentang yang menjadi Pendokong


IMAM AL-GHAZALI R.A. (450H - 505H)

"Hal aku pada mulanya menentang dan menolak hal solihin dan kedudukan al-'Arifin hingga aku bersahabat dengan syeikh aku ( Yusuf An-Nassaj) maka selalulah beliau menggilap jiwaku dengan mujahadah hingga dapatlah aku beberapa wirid. Maka aku pun bermimpi melihat Allah di dalam tidurku (panjanglah juga cerita mimpinya melihat Allah itu yang memberikannya keyakinan dan kesungguhan hati).

"Maka bangunlah aku daripada tidurku dengan sukacitanya mengadap syeikhku( Yusuf An-Nassaj). Aku menceritakan mimpiku kepadanya lalu ia pun tersenyum dan berkata:

'hai Abu hamid! Inilah alwah (kepingan/bahagian) kami pada permulaan, tetapi jika engkau terus bersahabat denganku akan dihiaskan mata pandangan engkau dengan celak anugerah ta'ayid (dokongan) hingga engkau melihat arashy dan sekelilingnya. Engkau tidaklah puas setakat itu hingga engkau dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan pandangan pancaindera. Maka hening bersihlah engkau dari kekeruhan tabi'i dan naiklah engkau ke atas edaran puncak akal engkau dan engkau akan mendengar firman daripada Allah Ta'ala kepada Musa yang bermaksud : 

"ya musa , sesungguhnya Aku adalah Allah, tuhan semesta alam" '

*Jika pada tahap seperti Imam Ghazali yg diberi gelaran 'Hujjatul Islam' tidaklah dapat ilmu ahli tasauf dgn tariqatnya melainkan dgn 'talqin, ijazah dan berguru maka tak usahlah pelik org yang menyalahkan kitab2 tasauf dan tariqatnya walaupun ia ulama di dalam bahagian ilmu yang lain2 spt kata hikmah:

"Setiap ilmu itu ada tokohnya dan setiap perkataan itu ada Kesesuaian tempatnya"

maka dari kata Al-Ghazali itu menunjukkan kepada kita bahawa ilmu umum tasauf itu telah ada dalam kitab dan tabaqat mereka, kecil dan besar, tetapi amalan dan latihan serta mujahadahnya mestilah berguru, berijazah; gurunya memberikan amanah dan anak murid menerima amanah. Amanah yg lebih mahal drpd emas dn manikam, lebih mahal dari harga dunia seluruhnya (jika kamu mengerti). 

~DR. BURHANUDDIN AL-HELMI~


IBNU ATHOILLAH  AS-SAKANDARI (658H-709 H)

Masa pertama

Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau". Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua

Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama' tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku".
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?". Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga".

Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka". Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah".

PETIKAN: http://www.kangtris.com/2009/04/ibnu-athoillah-al-sakandari.html



KATA-KATA TOKOH YANG DI GELAR PENENTANG TASAUF


IBNU TAIMIYYAH

" Bahawa didalam dunia ini ada syurga. Siapa yang tak masuk dalam syurga itu tiadalah ia dapat masuk syurga akhirat"

"Apakah yang diperbuat musuh-musuhku terhadap aku? Aku dengan syurgaku dan tamanku dalam dadaku, jika aku pergi ke mana-mana ia adalah bersamaku tidaklah ia tinggal. Jika aku dipenjara aku berkhalwat, jika dibuang negeri aku makan angin dan jika dibunuh aku syahid."

Beliau yang menjadi imam menentang tasauf ini dari mula-mula ia mengembangkan mazhabnya tetapi pada penghujung hayatnya seperti mendokongi apa yang ditentang selama hayatnya dan mula  menerima pandangan Ibnu 'Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Araby.

"Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Araby yang tidak memahami makna sebenarnya," kata Ibnu Taimiyah.


SYEIKH JAMALUDDIN AL-AFGHANI

"Orang-orang jahil, hakim-hakim yg zalim dan kerajaan eropah yang tamak mengambil peluang pada kelalaian orang-orang timur. Saya sesungguhnya sangat kuat beriman dengan agama saya. Saya percaya dengan akal saya dan pada aqal saya itu tiada kesudahannya. Saya beriman dengan perasaan saya, iaitu iman ahli tasauf yang mengakhirkan saya kepada keesaan wujud."

majalah al-Hilal



0 comments:

Post a Comment

 

sufiharaki

Mengajak anda dalam lebih teliti dan halus dalam aspek beragama dan menyampaikan masej dakwah ilAllah, kerana sesungguhnya Islam tidak akan dapat mencapai kegemilangannya kembali melainkan dengan cara ia mencapai kegemilangannya pada masa lalu iaitu dengan benar-benar menuruti sunnah baginda Rasul s.a.w

Usage Policies